"sampaikanlah walau hanya satu ayat"

Selasa, 21 Juni 2011

Zaid bin Haritsah (Budak Pembela Rasul)


Tidak semua peperangan melawan orang-orang kafir atau rezim Romawi saat itu, dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam beberapa pertempuran membela agama itu, posisi panglima perang ada kalanya didelegasikan kepada para sahabat. Peperangan Muktah, salah satunya.

Saat Rasulullah akan melepas pasukan Islam ke medan pertempuran Muktah, ia berpesan kepada pasukan Muslim, "Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Seandainya ia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Ja'far bin Abi Thalib. Seandainya Ja'far tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah bin Rawahah."

Siapa sejatinya Zaid bin Haritsah? Para pakar sejarah melukiskan sosok ini sebagai pria dengan perawakan biasa, pendek, kulitnya coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Soal kapan dan di mana dia lahir, tak ada bukti pasti maupun catatan sejarah yang menegaskan hal itu. Goresan sejarah yang pasti adalah, Zaid termasuk salah seorang pahlawan agung Islam yang kesetiaan dan pembelaannya terhadap Rasulullah tidak diragukan lagi.

Zaid kecil sesungguhnya tak lepas dari kisah pedih dan penderitaan keluarganya. Ia misalnya diketahui, sejak kecil sudah harus berpisah dengan ibunya, Su'da, yang dititipkan oleh ayahnya, Haritsah, ziarah ke sanak familinya di kampung Bani Maan. Su'da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah, ketika suaminya hendak menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat. Kafilah berangkat meninggalkan kampung itu, dan Haritsah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya.

Sesampai di tempat tujuan, beberapa waktu kemudian terjadilah musibah yang menimpa penduduk kampung Bani Maan. Kampung itu habis porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui. Semua barang berharga milik penduduk kampung dikuras habis, penduduknya ditawan dan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah.

Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan rampokannya. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam. Di kemudian hari, ia memberikannya kepada saudara tua perempuannya, Siti Khadijah. Ketika itu, Khadijah Ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT).

Khadijah kemudian memberikan khadamnya, Zaid, sebagai pelayan bagi Muhammad. Laki-laki ini menerimanya dengan senang hati, dan segera memerdekakannya. Dengan kepribadian dan fisiknya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididik oleh Khadijah dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti halnya anak sendiri.

Suatu ketika di musim haji, sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal berjumpa dengan Zaid di Mekkah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid. Ayah Zaid menyusul menemui Muhammad.

Setelah bertemu dengan Muhammad, Haritsah berkata, "Wahai Ibnu Abdul Muththalib...! Wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada Anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?"

Tak saja merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, Muhammad juga merasakan pula seorang ayah terhadap anaknya, Zaid. Maka, kata Muhammad kepada Haritsah, "Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!"

Mendengar ucapan Muhammad demikian, wajah Haritsah berseri-seri karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu, lalu ucapnya: "Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsyafan di balik kesadaran itu!" Kemudian Muhammad menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setiba di hadapannya, Rasul bertanya, "Tahukah Engkau siapa orang-orang ini?" "Ya, tahu," jawab Zaid." Yang ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku. Tapi, tak ada orang pilihanku, kecuali Anda (Muhammad)! Andalah ayah, dan Andalah pamanku!"

Mendengar itu, kedua mata Muhammad basah karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dan dibawanya ke pekarangan Ka'bah, tempat orang-orang Quraisy banyak berkumpul, lalu serunya: "Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya."

Mendengar ucapan itu hati Haritsah seakan-akan berada diawang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malahan sekarang diangkat pula sebagai anak oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan "Ash-Shadiqul Amin" (orang lurus tepercaya), keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekkah seluruhnya. Sejak saat itu, Zaid terkenal di kalangan penduduk Mekkah dengan nama "Zaid bin Muhammad."

Tak berapa lama, seruan wahyu yang pertama pun datang kepada Muhammad, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan! Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya." (Al-Alaq: 1-5). Menyusul kemudian wahyu dalam surat Al-Muddatsir: 1-3, dan Al-Maidah: 67.

Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid sebagai orang kedua yang masuk Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang pertama. Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, serta terpelihara lidah dan tangannya.

Betapa mulia kedudukan Zaid di sisi Rasul, sampai-sampai Aisyah Ra pernah berkata, "Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat menjadi pemimpinnya.

Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah." Begitulah Zaid, seorang anak yang pernah ditawan, diperjualbelikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya dan menjadi pembela utama Rasulullah. [Republika, 13 Desember 2002]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar