"sampaikanlah walau hanya satu ayat"

Selasa, 21 Juni 2011

Sahabat Usman Bin Affan (Khalifah yang pemalu)


Suatu ketika, istri Rasulullah, Aisyah Ra, bertanya pada Nabi SAW. Katanya, "Ya Rasulullah, engkau tidak bersiap bagi kedatangan Abu Bakar dan Umar bin Khathab sebagaimana kedatangan Utsman." Rasulullah menjawab, "Utsman seorang pemalu.

Kalau dia masuk sedang aku masih berbaring, dia pasti malu untuk masuk dan cepat-cepat akan pulang sebelum menyelesaikan hajatnya. Hai Aisyah, tidakkah aku patut malu kepada seseorang yang disegani (dimalui) oleh para malaikat?"

Betapa Hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad itu mengajarkan kepada kita bahwa sifat malu penting dalam kehidupan sosial manusia. Nabi SAW dan sahabatnya, Utsman, meneladankan sifat malu akan sangat membantu manusia baik dalam interaksi sosial maupun dalam hubungan vertikalnya dengan Tuhannya.

Sejarah Islam mencatat, perjalanan Utsman yang lahir di Thaif, Arab Saudi, pada 576 Masehi atau enam tahun lebih muda dari Nabi Muhammad ini, tak selamanya linier dengan obsesinya semula. Utsman yang mendapat julukan Nabi SAW sebagai 'Zunnurrain' (memiliki dua cahaya) karena menikahi dua putri Rasulullah, yakni Ruqayyah dan Ummu Kultsum, mengalami proses spiritual yang sama dengan Abu Bakar, yakni masuk Islam setelah mengarungi perjalanan panjang kehidupan profannya.

Seperti halnya Abu Bakar dan Umar bin Khathab, Utsman masuk Islam setelah beberapa kali mendengarkan ajakan 'kebenaran' baik yang diserukan oleh Rasulullah maupun sahabatnya yang lebih dulu masuk Islam. Selain dikenal dekat dengan Rasulullah, pria bernama lengkap Utsman bin Affan Zunnurain ini juga tawadhu dan tegas pendirian.

Masyarakat mengenal Utsman sebagai dermawan. Dalam ekspedisi Tabuk yang dipimpin oleh Rasul, Utsman menyerahkan 950 ekor unta, 50 kuda, dan uang tunai 1.000 dinar.

Itu berarti sepertiga biaya ekspedisi ia tanggung sendiri. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1.000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering itu.

Babak baru dalam kehidupannya ia alami ketika ia dipercaya menjadi khalifah Islam ketiga menggantikan Abu Bakar Ashiddiq. Jalan menuju kepemimpinan itu pun menyisakan cerita tak sedap tersendiri. Menjelang wafatnya, Umar bin Khattab berpesan. Selama tiga hari, imam masjid hendaknya diserahkan pada Suhaib Al-Rumi.

Namun pada hari keempat hendaknya telah dipilih seorang pemimpin penggantinya. Umar memberikan enam nama. Mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah anak Ubaidillah.

Setelah bermusyawarah, kesemua sahabat mengundurkan diri, kecuali Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman ditunjuk menjadi penentu. Ia menemui banyak orang meminta pendapat mereka. Namun pendapat masyarakat pun terbelah. Imar anak Yasir mengusulkan Ali.

Begitu pula Mikdad. Sedangkan Abdullah anak Abu Sarah berkampanye keras buat Utsman. Konon, sebagian besar warga memang cenderung memilih Utsman. Abdurrahman --yang juga sangat kaya-- pun memutuskan Utsman sebagai khalifah. Ali sempat protes. Abdurrahman adalah ipar Utsman. Mereka sama-sama keluarga Umayah.

Sedangkan Ali, sebagaimana Muhammad, adalah keluarga Hasyim. Sejak lama kedua keluarga itu bersaing. Namun Abdurrahman meyakinkan Ali bahwa keputusannya adalah murni dari nurani. Ali kemudian menerima keputusan itu. Jadilah Utsman khalifah ketiga di usia senja, 70 tahun. [Memerintah pada tahun 644-656].

Masa kekuasaan Utsman, sebagaimana diungkap dalam buku Seratus Muslim Terkemuka, berlangsung dalam dua periode, yakni 6 tahun pertama dan 6 tahun kedua. Pada fase 6 tahun pertama pemerintahan Utsman banyak mengalami berbagai keberhasilan dan kemajuan. Ini misalnya ditandai dengan makin luasnya ekspansi wilayah Islam. Untuk pertama kalinya, Islam juga mempunyai armada laut yang tangguh.

Muawiyah bin Abu Sofyan yang menguasai wilayah Syria, Palestina dan Libanon membangun armada itu. Sekitar 1.700 kapal dipakainya untuk mengembangkan wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah. Siprus, Pulau Rodhes digempur. Konstantinopel pun sempat dikepung.

Ustman juga membuat langkah penting bagi umat. Ia memperlebar bangunan Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Haram di Mekkah. Ia juga menyelesaikan pengumpulan naskah Quran yang telah dirintis oleh kedua pendahulunya. Ia menunjuk empat pencatat Quran, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits, untuk memimpin sekelompok juru tulis. Kertas didatangkan dari Mesir dan Syria.

Tujuh Quran ditulisnya. Masing-masing dikirim ke Mekkah, Damaskus, San'a, Bahrain, Basrah, Kuffah, dan Madinah. Di masa Ustman, ekspedisi damai ke Tiongkok dilakukan. Saad bin Abi Waqqas bertemu dengan Kaisar Chiu Tang Su dan sempat bermukim di Kanton.

Sayangnya pada periode 6 tahun kedua, pemerintahan Utsman mengalami berbagai pergolakan dan ancaman disintegrasi. Pemicunya antara lain kebijakan Utsman yang dinilai berpihak pada keluarga kerajaan. Ia misalnya banyak mengangkat anggota keluarganya untuk menduduki posisi-posisi penting negara. Yang paling kontroversial adalah pengangkatan Marwan bin Hakam sebagai sekretaris negara. Banyak yang curiga, Marwan-lah yang sebenarnya memegang kendali kekuasaan di masa Utsman.

Sebagai gubernur Irak, Azerbaijan dan Armenia, Utsman mengangkat saudaranya seibu, Walid bin Ukbah menggantikan tokoh besar Saad bin Abi Waqas. Namun Walid tak mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Ketidakpuasan menjalar ke seluruh masyarakat. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Abdullah bin Sabak. Dulu ia seorang Yahudi, tapi kemudian menjadi Muslim yang santun dan shalih. Ia memperoleh simpati dari banyak orang.

Abdullah berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi pengganti Muhammad adalah Ali. Beberapa tokoh mendesak Utsman untuk mundur. Namun Utsman menolak. Ali mengingatkan Utsman untuk kembali ke garis Abu Bakar dan Umar. Utsman merasa tidak ada yang keliru dalam langkahnya.

Malah Marwan berdiri dan berseru siap mempertahankan kekhalifahan itu dengan pedang. Situasai tambah panas. Pada bulan Dzulqaidah 35 Hijriah atau 656 Masehi, 500 pasukan dari Mesir, 500 dari Basrah, dan 500 dari Kuffah bergerak. Mereka berdalih hendak menunaikan ibadah haji, namun ternyata mengepung Madinah.

Ketiganya bersatu mendesak Utsman yang ketika itu telah berusia 82 tahun untuk mundur. Rakyat Mesir mencalonkan Ali, Basrah mendukung Thalhah, dan Kuffah memilih Zubair untuk menjadi khalifah pengganti. Utsman membujuk Ali agar meyakinkan para pemberontak. Ali melakukannya asal Utsman tak lagi menuruti kata-kata Marwan.

Utsman bersedia. Atas saran Ali, para pemberontak itu pulang. Namun tiba-tiba Utsman, atas saran Marwan, mencabut janjinya. Massa marah. Pemberontak balik ke Madinah. Muhammad anak Abu Bakar siap mengayunkan pedang.

Namun tak jadi melakukannya setelah ditegur Utsman. Al Ghafiki menghantamkan besi ke kepala Utsman, sebelum Sudan anak Hamran menusukkan pedang. Pada tanggal 8 Dzulhijjah 35 Hijriah, Utsman menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk Quran yang dibacanya. Sejak itu, kekuasaan Islam semakin sering diwarnai oleh tetesan darah.hery s/berbagai sumber

Menghimpun Mushaf Quran

Di bidang keagamaan, prestasi terbesar yang patut dicatat dari kepemimpinan Utsman bin Affan adalah keberhasilannya menghimpun ayat-ayat Alquran menjadi mushaf yang tetap dalam satu kitab. Ide menghimpun ayat-ayat Alquran yang saat itu berserakan di berbagai tempat dan dikhawatirkan hilang karena makin banyaknya para huffaz (orang-orang yang hafal Alquran) yang meninggal, memang bukan hal baru.

Jauh sebelumnya, yakni di masa Abu Bakar, pertama kali gagasan itu dimunculkan Umar bin Khathab. Pengerjaan pengumpulan dimulai dengan ketua tim langsung dipimpin Zait bin Tsabit, juga dikenal hafiz Quran dan sekretaris pencatat wahyu Rasulullah.

Dalam proses pembukuan Alquran itu, khalifah Utsman memberi nasihat agar mengambil pedoman kepada bacaan orang-orang yang hafal Alquran. Jika ada perselisihan di antara mereka dalam bacaannya, maka ayat-ayat tersebut harus ditulis menurut lahjah (dialek) suku Quraisy karena Alquran diturunkan menurut dialek mereka.

Setelah tugas selesai, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran Alquran itu kepada Hafshah. Sementara Alquran yang telah dibukukan diberi nama "Al Mushaf". Satu disimpan Khalifah Utsman di Madinah, dan empat mushaf lainnya dikirim ke Mekkah, Syria, Basrah, dan Kuffah, agar di tempat-tempat tersebut segera disalin. Adapun mushaf yang berada di tangan Utsman dinamakan "Mushaf Al Imam".

Dari mushaf yang ditulis dan dihimpun di masa khalifah Utman itulah, kaum Muslimin di seluruh pelosok menyalin dan memperbanyak Alquran, termasuk hingga di masa modern kini --ejaan dan standar bacaan berasal dari masa kepemimpinan Utsman.

Atas jasa dan keberhasilannya itulah, Rasulullah dalam salah satu sabdanya menyatakan, bahwa Utman bin Affan termasuk dalam sepuluh orang yang dijamin Rasulullah langsung masuk surga. [Republika, 10 Januari 2003]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar